BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pengadaan
dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan
nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar
negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar
negeri.
Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak
merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan bukan hanya
masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi
masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah
Perpajakan di Indonesia.
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi
pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak
maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya
tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan
yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di
Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak
Pertambahan Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian
melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat
Pemberitahuan (SPT).
Rumusan Masalah
Seperti
yang telah diuraikan di latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Pengertian
BKP dan JKP
2. Mekanisme
pemungutan ppn
3. Objek.
Tarif dan perhitungan ppn
4. Saat
terutang ppn dan dasar pengkenaan pajak
5. Cara
menghitung pajak
Tujuan Penulisan
Tujuan
Penulis membuat makalah yang berjudul “PPN” adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat kepatuhan wajib pajak terhadap
Undang-undang perpajakan.
2. Menambah keahlian di bidang perpajakan khususnya
yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3. Dan sebagai salah satu penilaian tugas mata
kuliah perpajakan
Metode Pengumpulan Data
Dalam
penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi
aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan
masalah tersebuat dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa
metode pengumpulan data, yang pertama browsing di internet, kedua melalui
sumber buku bacaan dan dengan pengetahuan yang penulis miliki.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian BKP dan JKP
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari
produsen ke
konsumen. Dalam
bahasa
Inggris, PPN disebut
Value
Added Tax (VAT) atau
Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak
langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang
bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir)
tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan
pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah
Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan
PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh,
atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu
sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di
Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/
1983 berikut
revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/
1994 dan Undang-Undang No. 18/
2000.
Barang Kena Pajak ( Pasal 1 angka 3
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
-
|
Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena
Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 itu sendiri.
|
-
|
Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang
berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek
dagang, paten, hak cipta, dll).
|
-
|
Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN
adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal
4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
|
-
|
Dengan demikian, secara otomatis barang-barang
lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
|
1.
Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a.
|
Barang hasil pertambangan, penggalian, dan
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi,
pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dsb).
|
b.
|
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik
beriodium maupun tidak beriodium).
|
c.
|
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat
maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering).
|
d.
|
Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
|
2.
Penyerahan BKP ( Pasal 1A angka 1 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2000 ) :
a.
|
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian (antara lain jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran).
|
b.
|
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu Perjanjian
Sewa Beli dan Perjanjian Leasing (Capital Lease atau Sewa Guna Usaha dengan
Hak Opsi).Yang terutang PPN adalah penyerahan barangnya, sedangkan penyerahan
jasanya (jasa pembiayaan) tidak terutang PPN.
|
c.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang
Perantara dan Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
|
d.
|
Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas
Barang Kena Pajak.
|
e.
|
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang tersisa pada saat pembubaran
perusahaan. (Khusus atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang PPN Masukan yang dibayar pada saat perolehannya
dapat dikreditkan).
|
f.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke
Kantor Cabang (perwakilan/kantor pemasaran) atau sebaliknya dan penyerahan
Barang Kena Pajak antar Kantor Cabang (dalam hal berada dalam wilayah Kantor
Pelayanan Pajak yang berbeda)
|
g.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
|
3.
Bukan Penyerahan BKP/Tidak dikenakan PPN (Pasal 1A
angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) :
a.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Namun demikian,
jasa makelar merupakan Jasa Kena Pajak.
|
b.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang.
|
c.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke
Kantor Cabang atau sebaliknya dan antar Kantor Cabang, dalam hal berada dalam
wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau berada dalam wilayah Kantor
Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah memperoleh ijin pemusatan tempat
pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak. (lihat Sentralisasi Tempat Pajak
Terutang)
|
Tatacara Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai yang
terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean, paling
lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Ketentuan pengisian Surat Setoran
Pajak (SSP) :
1. pada kolom
“Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean yang menyerahkan
BKPTW/JKP ke dalam Daerah Pabean,
2. pada kolom
“NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi
dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP, dan
3. pada kotak
“Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP.
Tatacara Pelaporan
Bagi Pengusaha Kena Pajak, PPN atas
pemanfaatan BKPTW atau JKP yang telah disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN
bulan terutangnya pajak. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan
pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
Orang pribadi atau badan yang bukan
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP yang telah
disetor dengan mempergunakan lembar ketiga SSP ke Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
Sanksi
Orang pribadi atau badan yang
melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai setelah melewati batas waktu di
atas dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Mulai Berlaku
Sejak 1 April 2010, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 ini mulai berlaku dan menggantikan atau
mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor
568/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
karakteristik
§ Pajak
tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas
pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
§ Pajak
objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
§ Menghindari
pengenaan pajak berganda.
§ Dihitung
dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu
dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Barang tidak kena PPN
§ Barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
meliputi:
§ Barang-barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
§ Segala
jenis beras dan gabah,
seperti beras putih, beras merah,
beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
1.
Beras berkulit (padi atau gabah) selain
untuk benih.
2.
Gilingan.
3.
Beras setengah giling atau digiling
seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4.
Beras pecah.
5.
Menir (groats) beras.
§ Segala
jenis jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong
jagung, dalam bentuk:
1.
Jagung yang telah dikupas maupun belum.
2.
Jagung tongkol dan biji jagung atau
jagung pipilan.
3.
Menir (groats) atau beras jagung,
sepanjang masih dalam bentuk butiran.
2.
Tepung,
tepung kasar, dan bubuk sagu.
§ Segala
jenis kedelai,
seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai
hitam, pecah maupun utuh.
§ Garam,
baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1.
Garam meja.
2.
Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50
kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
§ Makanan dan minuman yang
disajikan di hotel, restoran, rumah
makan, warung,
dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat
maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau
usaha jasa boga.
Jasa tidak kena PPN
§ Jasa
di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
§ Jasa
di bidang pelayanan sosial, meliputi:
3.
Jasa pemberian pertolongan pada
kecelakaan.
4.
Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang
bersifat komersial.
6.
Jasa di bidang olahraga,
kecuali yang bersifat komersial.
7.
Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali
yang bersifat komersial.
§ Jasa
di bidang perbankan, asuransi,
dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
1.
Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan
tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak
piutang.
2.
Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
3.
Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
§ Jasa
di bidang keagamaan, meliputi:
3.
Jasa lainnya di bidang keagamaan.
§ Jasa
di bidang pendidikan, meliputi:
1.
Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah,
seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan
luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik,
dan pendidikan profesi.
2.
Jasa penyelenggaraan pendidikan luar
sekolah, seperti kursus.
§ Jasa
di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk
jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan
kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
§ Jasa
di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi,
baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat
iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
§ Jasa
di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat,
laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
1.
Jasa tenaga kerja.
2.
Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang
pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari
tenaga kerja tersebut.
3.
Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi
tenaga kerja.
§ Jasa
di bidang perhotelan, meliputi:
1.
Jasa persewaan kamar termasuk
tambahannya di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, hostel,
serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
menginap.
2.
Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan
acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
UU PPN 1984
tidak pernah menentukan bahwa eksportir BKP adalah PKP
Apabila dicermati ternyata
sejak mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985, UU PPN 1984 tidak pernah memberi
status PKP kepada eksportir BKP. Tentang hal ini tersurat dan tersirat dalam:
a. Pasal 1 angka 15
(sebelumnya adalah Pasal 1 huruf l), yang merumuskan status PKP itu hanya
dimiliki oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, maka
pengusaha yang tidak menyerahkan BKP atau JKP tetapi melakukan ekspor BKP atau
ekspor JKP tidak memiliki status sebagai PKP.
Apabila ada eksportir yang
dikukuhkan sebagai PKP, kriteria yang menjadi tolok ukur bukan kegiatan ekspor
tersebut melainkan kegiatan lain yang dilakukan oleh eksportir ini misalnya
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Contoh: PT Arta Belanga
mengelola sebuah pabrik biskuit. Produk perusahaan ini sebagian besar untuk
dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya diekspor. PT Arta Belanga diwajibkan
untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, karena kegiatan usaha
atau pekerjaannya adalah menyerahkan produk berupa biskuit yang merupakan BKP,
bukan karena mengekspor BKP. Ketika mengekspor BKP, PT Arta Belanga sudah
dikukuhkan sebagai PKP, maka atas ekspor ini dikenai PPN.
a.
Dalam Pasal
3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983 yang menentukan bahwa bagi pengusaha yang
melakukan ekspor BKP juga melakukan penyerahan BKP kepada PKP dapat memilih
untuk dikukuhkan menjadi PKP. Secara a contrario, apabila ada pengusaha
mengekspor BKP tetapi tidak pernah melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam
Daerah Pabean, maka pengusaha ini bukan PKP meskipun boleh memilih untuk
dikukuhkan menjadi PKP. Mengapa begitu ?
Sebelum 1 Januari 1995,
pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP dikenal dengan sebutan
PMPKP. PMPKP ini bukan PKP dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memiliki
karakteristik PPN yang mewajibkan PKP memungut PPN atas penyerahan BKP atau JKP
kepada siapapun. Sedangkan PMPKP hanya mengenakan PPN apabila menyerahkan BKP
kepada PKP lain. Dalam hal pengusaha yang ter-golong PMPKP menyerahkan BKP
kepada non PKP, tidak boleh memungut PPN.
Contoh: PT Eksporta melakukan
ekspor BKP yang diperoleh dari para pemasok (supplier). Perusahaan ini tidak
pernah menjual BKP tersebut kepada pembeli di dalam negeri. PT Eksporta bukan
PKP. Beberapa bulan berikutnya, disebabkan BKP yang diterima dari para pemasok
melebihi kuantum BKP untuk diekspor, maka sebagian dijual di dalam Daerah
Pabean. Dalam kondisi yang seperti ini PT Eksporta diperbolehkan memilih untuk
dikukuhkan menjadi PKP supaya dapat memungut PPN ketika menyerahkan BKP kepada
PKP.
c. Memori penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf f berbunyi sebagai berikut: “Berbeda dengan Pengusaha
yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c,
maka Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang
telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (1).”
Formula memori penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf f ini tidak
mencapai sasaran. (Lagi-lagi penulis menimbang-nimbang unsur etika. Sungguh
tidak etis apabila penulis menyebutkan “menyesatkan”, lebih etis kiranya
menggunakan kalimat “tidak mencapai sasaran”). Dari formula memori penjelasan
tersebut menimbulkan kesan bahwa yang boleh melakukan ekspor BKP hanya
Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Sebaliknya apabila suatu pengusaha
belum dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha ini dilarang mengekspor BKP.
Padahal, UU PPN tidak memiliki kompetensi melarang Pengusaha yang belum
dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP.
Menurut hemat penulis, formula
Pasal 4 ayat (1) huruf f yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas ekspor BKP
yang dilakukan oleh PKP, mengandung makna bah-wa dalam hal kegiatan ekspor BKP
dilakukan oleh eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP, maka tidak dikenai
PPN.
Makna ini tersirat dalam
penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f diawali dengan kalimat: “Berbeda dengan
Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau
huruf c …..”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf c
mengisyaratkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau penyerahan JKP baik
oleh Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya sudah
dikukuhkan namun ternyata belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ketentuan
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dirumuskan secara berbeda dengan Pasal 4 ayat
(1) huruf a dan huruf c, maka ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f membawa
konsekuensi, apabila eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan
ekspor BKP, maka atas ekspor ini tidak dikenai PPN. Sebagai konsekuensinya,
pengusaha ini tidak dapat mengkreditkan seluruh Pajak Masukannya sehingga tidak
memperoleh kenikmatan berupa hak untuk mengajukan permintaan pengembalian
kelebihan Pajak Masukannya. Analisis ini berlaku juga bagi pengusaha yang
melakukan ekspor sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf g, dan huruf
h.
Kewajiban di
bidang PPN bagi pengusaha yang semata-mata melakukan ekspor BKP atau ekspor
JKP.
Apabila disimak lebih cermat
ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPN 1984 sebelum 1 Januari 1995 dengan
perumusan yang lebih akurat dalam Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 15 UU PPN
1984 sejak 1 Januari 1995 dapat dipahami bahwa Pengusaha yang melakukan
kegiatan ekspor BKP dapat dipilah menjadi 3 macam variasi kegiatan usaha,
yaitu:
1) Pabrikan selaku
eksportir, yaitu pabrikan yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean,
juga melakukan ekspor BKP yang merupakan hasil produksinya.
2) Pedagang Besar selaku
eksportir, yaitu pedagang besar yang selain menyerahkan BKP di dalam
Daerah Pabean, juga melakukan ekspor barang dagangannya yang merupakan BKP.
3) Pengusaha yang
kegiatannya semata-mata melakukan ekspor BKP.
Bagi pabrikan yang memproduksi
BKP, produk ini selain diekspor juga diserahkan di dalam Daerah Pabean,
dan Pedagang Besar yang selain mengekspor barang dagangannya yang merupakan BKP
juga menyerahkannya di dalam Daerah Pabean, wajib melaporkan usahanya
untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU PPN
1984, kewajiban ini timbul bukan karena melakukan ekspor BKP, melainkan lebih
disebabkan dari kegiatannya menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean. Karena
sudah dikukuhkan sebagai PKP maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN
1984 atas kegiatan ekspor BKP-nya dikenai PPN, sehingga dalam surat pengukuhan
PKP-nya, jenis usahanya meliputi “eksportir dan industri BKP”, atau
“eksportir dan Pedagang Besar BKP”.
Sedangkan bagi Pengusaha yang
kegiatan usahanya semata-mata mengekspor BKP, sehingga sama sekali tidak
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP di dalam Daerah
Pabean, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, tidak berstatus sebagai
PKP maka seharusnya tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Meskipun demikian, bagi pengusaha ini diberi hak untuk
memilih dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana sudah pernah diatur dalam Pasal 3
ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983.
Karena Pasal 1 angka 15 tidak
menentukan bahwa pengusaha yang melakukan ekspor BKP Berwujud atau Tidak
Berwujud atau JKP adalah PKP, sehingga secara logika yuridis Pengusaha ini
tidak dapat dibebani kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP, maka pencantuman “Pasal 4 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h”
dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 seharusnya gugur demi hukum.
MEKANISME
PEMUNGUTAN PPN
Bagaimanakah mekanisme pemungutan PPN?
1.
Secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan
BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dengan demikian, pembeli BKP/JKP yang
bersangkutan wajib membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN
yang terutang (10%).
2.
Dalam hal harga jual atau penggantian telah termasuk
PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan BKP/JKP tersebut dihitung dengan
formula : 10/110 x
harga jual atau penggantian.
3.
Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN
(Pembeli Khusus), PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak
dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh
Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP
Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas
negara.
· Bendaharawan
Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari APBN/APBD.
· Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara
5.
Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP antar Pemungut
PPN, PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor dan dilaporkan oleh
Pemungut PPN yang melakukan penyerahan BKP/JKP (Penjual),
6.
Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP oleh Badan-Badan
tertentu kepada Bendaharawan Pemerintah/KPKN, maka PPN/PPnBM terutang atas
BKP/JKP dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Pemerintah/KPKN
(Pembeli),.
7.
Penyerahan BKP/JKP oleh Instansi Pemerintah yang
bertindak sebagai PKP kepada Badan-Badan tertentu, PPN terutang dipungut,
disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Instansi Pemerintah (Penjual)
Mekanisme Pemungutan PPN Oleh
Pemungut PPN
(563/KMK.03/2003, KEP-382/PJ/2002)
Faktur Pajak dan SSP merupakan
bukti pemungutan dan
penyetoran PPN dan/atau PPnBM PemungutanPPN/PPn BM
dilakukan pada saat dilakukannya pembayaran atas BKP/JKP oleh
pemungut PPN, dengan cara memotong langsung dari tagihan PKP
Rekanan.
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan
(faktur/invoice), PKP Rekanan wajib membuat :
1. Faktur Pajak
atas PPN dan PPnBM yang terutang
2. SSP (dengan identitas dan NPWP PKP
Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
Faktur Pajak dibuat rangkap 3 :
1. Lembar 1 :
untuk Pemungut PPN
2. Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
3. Lembar 3 : untuk KPP melalui
Pemungut PPN
Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi cap
"DISETOR TANGGAL :..........." dan ditandatangani oleh
Pemungut PPN yang bersangkutan.
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak Standar
wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
Untuk Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat rangkap 5
:
1. Lembar 1 :
untuk arsip PKP Rekanan
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT
Masa PPN PKP Rekanan
4. Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
5. Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
Untuk KPKN, SSP dibuat rangkap 4 :
1. Lembar 1 :
untuk arsip PKP Rekanan
2. Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3. Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT
Masa PPN PKP Rekanan.
4. Lembar 4 : untuk
Pemungut PPN (KPKN)
Pada setiap lembar SSP, wajib
dicantumkan nomor dan tanggal advis
SPM
SSP lembar ke-1 dan ke-2 dibubuhkan
cap "TELAH DIBUKUKAN"
OBJEK
TARIF dan PERHITUNGAN PPN
Objek PPN
1.
Penyerahan BKP/JKP didalam daerah
pabeaan yang dilakukan oleh pengusaha
2.
Import BKP
3.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean di dalam daerah pabean
4.
Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean
didalam daerah pabean
5.
Eksport BKP oleh PKP
Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah
1.
Pengusaha
yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.
2.
Bentuk Kerja sama Operasi.
Bukan
Pengusaha Kena Pajak
1.
Orang
Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
2.
Orang
pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah
Pabean.
3.
Orang
Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.
4.
Jasa di bidang perhotelan.
Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami
dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan
mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN
menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka
memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif
efektif termasuk asal-usul tarif efektif.
Dalam menghitung PPN terutang diberikan
beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan
nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN
atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman
Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak
maupun pembayaran
Cara
Penghitungan
PPN yang terutang atas pemanfaatan
BKPTW dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai
berikut:
·
10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam
jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN; atau
·
10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam
jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan adanya
kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi
tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah
termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10%
dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak
yang menyerahkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
SAAT TERUTANG PPN dan DASAR PENGENAAN PAJAK
Saat dan Tempat Pajak Terutang
Untuk menghitung
PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif
PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan
Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang
pajak dan tempat pajak terutang.
Uraian tentang saat
terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan
bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN
JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas
pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan
termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat
pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki
cabang-cabang.
Saat
Terutang
Saat terutangnya PPN atas
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
Saat dimulainya pemanfaatan
BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih
dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
1.
saat BKPTW/JKP tersebut secara nyata digunakan oleh
pihak yang memanfaatkannya;
2.
saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dinyatakan
sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3.
saat harga jual BKPTW dan/atau penggantian JKP
tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4.
saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dibayar baik
sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Dalam hal saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, saat dimulainya
pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung
besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan
PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Dasar perhitungan
PPN adalah sebagai berikut:
1.
untuk
PPN Barang adalah harga jual;
2.
untuk
PPN Jasa adalah penggantian;
3.
untuk
PPN Impor adalah Nilai Impor;
4.
untuk
PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari
luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB
atau JKP;
5.
untuk
PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman
suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang
tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
6.
untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.
Pengertian
harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang
atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN,
potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
Pengertian
DPP dengan nilai lain, adalah:
1.
untuk
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak
termasuk laba kotor;
2.
untuk
penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
3.
untuk
persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual
adalah harga pasar wajar;
4.
untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu
persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.
CARA
MENGHITUNG PAJAK
Perhitungan
PPN dan PPn BM
Rumus :
PPN=10/110 + t x harga penyerahan BKP
PPn BM = t/110 + t x harga penyerahan BKP
t = besar tariff PPn BM
contoh:
1. Dalam
kontrak harga belum termasuk PPN
PKP A, bulan januari 2009, menjual
tunai kepada PKP B sebanyak 100 pasang sepatu merk Nike, dengan harga @ Rp
100.000, belum termasuk PPN, oleh PKP B, pada bulan januari 2009, sepatu
tersebut dijual sebanyak 80 pasang kepada pihak lain dengan harga @ Rp 120.000
sedangkan sebanyak 5 pasang dipakai sendiri. Hitung PPN terutang PKP B?
Jawab :
PAJAK MASUKAN
DPP = 100 x @ Rp 100.000 =
10.000.000
PPN= 10% x
10.000.000 = 1.000.000
Jumlah
= 11.000.000
PAJAK KELUARAN
DPP = 80 x 120.000
=
Rp 9.600.000
PPN atas penjualan 80 pasang
(10% x
9.600.000)
Rp 960.000
PPN atas pemakai sendiri
DPP = 5 x @ 100.000
(10% x
500.000) Rp
50.000
Jumlahnya
Rp. 1.010.000
Pajak
masukan
= 1.000.000
Pajak
keluaran
= 1.010.000
Jumlah kurang
bayar = 10.000
BAB
III
KESIMPULAN
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi
pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan
memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak
maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya
tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.