MORALITAS KORUPTOR DI INDONESIA
ABSTRAK
Arif Hadi Saputra.
11210075.
4EA17
Korupsi di Tanah Air benar-benar sudah
dalam tahap memprihatinkan. Sekelas pimpinan lembaga, yakni Ketua MK Akil
Mochtar, ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi. Berdasarkan uraian diatas,
penulis tertarik untuk melakukan penulisan mengenai moralitas koruptor , maka
di dalam penulisan ini penulis akan
memberi judul “MORALITAS KORUPTOR DI
INDONESIA”. Dapat disimpulkan
bahwa faktor utama yang harus disalahkan adalah diri sendiri, karena jika diri
kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka kita akan mampu untuk
menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun pihak yang harus
mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus serius dalam
mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan hukuman yang
diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor jera,
kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu moral
sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik dimasyarakat.
Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan mahasiswanya ke
arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan buruk.
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Korupsi di Tanah Air
benar-benar sudah dalam tahap memprihatinkan. Sekelas pimpinan lembaga, yakni
Ketua MK Akil Mochtar, ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi.
Perilaku
korupsi yang menyerang berbagai lini karena minimnya pendidikan moral dan agama
pada individu. Kelemahan dua hal itu, tak lepas dari lemahnya pengawasan yang
dilakukan para guru pengajar. "Moral
itu sukar untuk diuji, pengetahuan tentang moral dapat 10, itu bukan berarti
paling dia paling bermoral. Siswa yang diuji pengetahuan, padahal moral perlu
penilaian dari guru. Misalnya dari hasil ujian cuma dapat 7 tapi guru melihat
anak suka menolong orang, maka nilainya bisa dievaluasi,
Berdasarkan
uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penulisan mengenai moralitas
koruptor , maka di dalam penulisan ini
penulis akan memberi judul “MORALITAS
KORUPTOR DI INDONESIA”.
Rumusan
dan Batasan Masalah
Rumusan
Masalah
Penulis
merumuskan rumusan masalah dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Siapa yang harus
disalahkan akibat terjadinya korupsi?
Batasan
Masalah
Penulis
membatasi pembahasan
masalah pada penulisan ini adalah :
Pada kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia.
Tujuan
Penelitian
Tujuan dari
penulisan ini adalah :
Untuk mengetahui
siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi
Manfaat
Penelitian
Manfaat
Akademis
Memberikan
manfaat bagi penulis untuk mempelajari lebih dalam
moral-moral yang baik untuk tidak terjebak dalam situasi yang mengakibatkan
korupsi.
Manfaat
Praktis
Memberikan manfaat bagi pembaca
sebagai referensi informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi.
Metode
Penelitian
Data
Data primer adalah
suatu pengumpulan data informasi langsung dari sumber penelitian, sedangkan
data sekunder adalah suatu pengumpulan data informasi tidak langsung pada
sumbernya, melainkan melalui media untuk mencari data yang relevan dengan
pembahasan.
Alat
analisis yang digunakan
Alat analisis yang digunakan
dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan alat analisis kualitatif yaitu
suatu metode analisis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan serta informasi dari objek yang diamati.
LANDASAN TEORI
MORAL
Moral adalah kaidah
mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label
“bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas
dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan
berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor
pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang
membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan
yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka
nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah
kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas
hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya
kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak
keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup
sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk
menggapai kebaikan.
MORALITAS OBYEKTIF
Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai kebaikan
bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan
dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk
berakal budi.
Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma,
dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud
aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan
yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya
undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya,
manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai
sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika
secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
MORALITAS SUBYEKTIF
Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati
sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia
mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan,
dan ini harus ditaati.
Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini
tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi
moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK,
melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika
seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena
hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi
dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman
obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan
setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang
dijatuhkan nurani manusia!
KORUPSI?
Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral!
Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif.
Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut.
Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan
hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam
peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main
dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap
para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain,
penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur
negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan
penajaman hati nurani.
Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum
cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi
belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut
menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman
mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya
karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan
hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku
saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup
bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah
masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan.
Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada
jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi
tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa
disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua
orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara
terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan
pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal
budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada
pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas
harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang
bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!
METODE PENELITIAN
Metode
Yang Digunakan
Penulis menggunakan metode sekunder,
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak
lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak
dipublikasikan. Dan dengan menggunakan alat analisis kualitatif yaitu suatu metode
analisis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau
tulisan serta informasi dari objek yang diamati.
PEMBAHASAN
Definisi Korupsi
Definisi Korupsi adalah (bahasa Latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok).perilaku pejabat publik (pejabat pemerintahan), yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang
dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka.
Perbuatan korupsi
memang berbeda dengan pencurian biasa/maling, perbuatan ini yang notabene
dilakukan oleh oknum pejabat publik cenderung memiliki dampak yang luas ,yang
menyangkut suatu sistem pemerintahan dimana dia berada, dan bahkan bisa membuat
kehancuran suatu negara, ini yang membedakan dengan prilaku kriminal biasa di
level masyarakat umum yang efeknya sebatas lingkup per-individu dan tidak
mempengaruhi sistem pemerintahan. Memprihatinkan bahwa Indonesia menempati
ranking 3 besar dunia untuk kasus korupsi ini.
Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi
juga? Kaum behavioris
mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi
orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Penelitian-penelitian
empiris mengenai korupsi mengonfirmasi anggapan tersebut.Pada umumnya faktor
penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek yaitu:
1. Kerusakan
pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan,
kontrol, transparansi rusak.Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang
merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi jelas ketika
sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan
terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulang-ulang
karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan.
2. Pengaruh
dari iklim koruptif di tingkat kelompok atau departemen.
3. Karena
faktor kepribadian.
Siapa
yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi
Dari uraian di atas
maka faktor utama yang harus disalahkan adalah diri sendiri, karena jika diri
kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka kita akan mampu untuk
menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun pihak yang harus
mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus serius dalam
mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan hukuman yang
diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor jera,
kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu moral
sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik dimasyarakat.
Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan mahasiswanya ke
arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan buruk.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang harus disalahkan adalah diri
sendiri, karena jika diri kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka
kita akan mampu untuk menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun
pihak yang harus mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus
serius dalam mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan
hukuman yang diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor
jera, kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu
moral sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik
dimasyarakat. Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan
mahasiswanya ke arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang
baik dan buruk.
Saran
Penulis memberikan saran agar pemerintah, orang tua guru dan dosen pengajar
dapat besinergi untuk selalu mengawai dan memberikan nilai-nilai positif dalam
berkehidupan bermasyarakan untuk tidak melakukan aksi korupsi karena itu
termasuk perbuatan yang melanggar hukum, dan untum pemerintah agarlebih serius
dalam menghukum para koruptor karena hukuman yang ada di Indonesia masih sangat
ringan dan tidak menbuat para koruptor jera.
DAFTAR PUSTAKA