beranda

Jumat, 20 Desember 2013

MORALITAS KORUPTOR DI INDONESIA

MORALITAS KORUPTOR DI INDONESIA



ABSTRAK


Arif Hadi Saputra.
11210075.
4EA17


Korupsi di Tanah Air benar-benar sudah dalam tahap memprihatinkan. Sekelas pimpinan lembaga, yakni Ketua MK Akil Mochtar, ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penulisan mengenai moralitas koruptor , maka di dalam penulisan  ini penulis akan memberi judul “MORALITAS KORUPTOR DI INDONESIA”. Dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang harus disalahkan adalah diri sendiri, karena jika diri kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka kita akan mampu untuk menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun pihak yang harus mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus serius dalam mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan hukuman yang diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor jera, kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu moral sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik dimasyarakat. Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan mahasiswanya ke arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan buruk.    


PENDAHULUAN

Latar Belakang

      Korupsi di Tanah Air benar-benar sudah dalam tahap memprihatinkan. Sekelas pimpinan lembaga, yakni Ketua MK Akil Mochtar, ternyata juga terjerat dalam kasus korupsi.
Perilaku korupsi yang menyerang berbagai lini karena minimnya pendidikan moral dan agama pada individu. Kelemahan dua hal itu, tak lepas dari lemahnya pengawasan yang dilakukan para guru pengajar. "Moral itu sukar untuk diuji, pengetahuan tentang moral dapat 10, itu bukan berarti paling dia paling bermoral. Siswa yang diuji pengetahuan, padahal moral perlu penilaian dari guru. Misalnya dari hasil ujian cuma dapat 7 tapi guru melihat anak suka menolong orang, maka nilainya bisa dievaluasi,
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penulisan mengenai moralitas koruptor , maka di dalam penulisan  ini penulis akan memberi judul “MORALITAS KORUPTOR DI INDONESIA”.


Rumusan dan Batasan Masalah
Rumusan Masalah 
Penulis merumuskan rumusan masalah dalam penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut :
Siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi?
Batasan Masalah
Penulis membatasi pembahasan masalah pada penulisan ini adalah :
Pada kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.


Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah :
Untuk mengetahui siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi


Manfaat Penelitian

Manfaat Akademis
Memberikan manfaat bagi penulis untuk mempelajari lebih dalam moral-moral yang baik untuk tidak terjebak dalam situasi yang mengakibatkan korupsi.

Manfaat Praktis
Memberikan manfaat bagi pembaca sebagai referensi informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi.


Metode Penelitian

Data
Data primer adalah suatu pengumpulan data informasi langsung dari sumber penelitian, sedangkan data sekunder adalah suatu pengumpulan data informasi tidak langsung pada sumbernya, melainkan melalui media untuk mencari data yang relevan dengan pembahasan.

Alat analisis yang digunakan
        Alat analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan alat analisis kualitatif yaitu suatu metode analisis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan serta informasi dari objek yang diamati.
  

LANDASAN TEORI

MORAL
      Moral adalah kaidah mengenai apa yang baik dan buruk. Sesuatu yang baik kemudian diberi label “bermoral.” Sebaliknya, tindakan yang bertentangan dengan kebaikan lantas dikategorikan sebagai sesuatu yang jahat, buruk, atau: “tidak bermoral.”
            Semua orang sepakat bahwa manusia adalah makhluk yang istimewa, unik, dan berbeda dengan aneka ciptaan Tuhan yang lain. Keunikan tersebut menjadi faktor pembeda yang tegas antara manusia dan makhluk yang lain. Lalu apa yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain? Tentu akal budinya!
            Akal budi inilah yang memampukan manusia untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Dengan demikian manusia tidak tunduk pada insting belaka. Aneka nafsu, hasrat, dan dorongan alamiah apapun diletakkan secara harmonis di bawah kendali budi.
Dari sini kemudian manusia menggagas hidupnya secara lebih bermartabat dan terhormat. Manusia kemudian punya kecenderungan alamiah untuk mengarahkan hidupnya kepada kebaikan dan menolak keburukan. Apa saja yang baik, itulah yang dikejar dan diusahakan. Hidup sosial, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya kemudian digagas untuk menggapai kebaikan.

MORALITAS OBYEKTIF
            Moralitas obyektif lahir dari kesadaran manusia untuk mencapai  kebaikan bersama. Moralitas obyektif adalah tata nilai yang secara obyektif ada dan dipatuhi bersama sebagai konsekuensi dari kodrat manusia sebagai makhluk berakal budi.
            Moralitas seperti ini hadir dalam bentuk aneka peraturan, perundangan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang dalam tata hidup bersama. Ia bisa berwujud aturan yang sudah diwariskan turun-temurun, tetapi bisa juga berwujud aturan yang dengan sengaja dibuat untuk pencapaian kebaikan bersama, misalnya undang-undang, KUHP, aneka tata-tertib, dll. Untuk mencegah korupsi misalnya, manusia kemudian membuat undang-undang antikorupsi.
            Pelanggaran terhadap moralitas obyektif ini mengakibatkan si pelanggar dikenai sanksi dan hukum yang berlaku. Seorang koruptor, misalnya, harus dihukum jika secara obyektif dia terbukti melakukan korupsi.
 
MORALITAS SUBYEKTIF
            Moralitas subyektif adalah tata nilai yang secara konstitutif ada di dalam hati sanubari manusia. Karena setiap manusia berakal budi, maka setiap manusia mempunyai dalam dirinya sendiri tata nilai yang mengantarnya kepada kebaikan, dan ini harus ditaati.
            Berbeda dengan moralitas obyektif, pelanggaran terhadap norma subyektif ini tidak bisa dikenai hukum obyektif. Lalu instansi apa yang bisa mengawasi moralitas subyektif semacam ini? Bukan polisi, tentara, jaksa, ataupun KPK, melainkan hati nurani! Hati nurani inilah yang kemudian terlanggar jika seseorang memilih untuk menyimpang kepada keburukan dengan mau-tahu-dan bebas.
            Secara sekilas, agaknya moralitas subyektif ini sanksinya lebih ringan karena hanya dirinya sendiri yang tahu. Tetapi betulkah demikian? Tidak! Justru sanksi dari moralitas subyektif ini akan menghantuinya seumur hidup. Jika hukuman obyektif (sanksi penjara misalnya) hanya berlaku selama beberapa tahun dan setelah itu ia bisa melenggang bebas, tidak demikian dengan sanksi yang dijatuhkan nurani manusia!
KORUPSI?
            Korupsi adalah penyakit bangsa dan secara tegas pula merupakan penyakit moral! Moral yang mana? Kedua-duanya: moralitas obyektif dan sekaligus subyektif. Pemberantasan korupsi dengan demikian juga memasuki kedua ranah tersebut. Korupsi bisa diberantas jika secara obyektif ia dilarang (dengan memberlakukan hukum yang amat berat), dan secara subyektif pula diperangi (dengan mempertajam peran budi-nurani yang dimiliki oleh setiap manusia).
            Di satu sisi, penegakan moralitas obyektif adalah soal penegakan aturan main dalam hidup bernegara, ketegasan pemerintah dalam menegakkan hukum terhadap para koruptor, dan pembenahan sistem peradilan yang semakin adil. Di sisi lain, penegakkan moralitas subyektif adalah soal pembenahan mentalitas aparatur negara, pembenahan hidup kemanusiaan sebagai mahkluk yang berakal budi, dan penajaman hati nurani.
            Penekanan kepaada salah satu moralitas saja sudah cukup baik, tetapi belum cukup. Pemberlakuan hukum yang berat terhadap para koruptor itu baik, tetapi belum cukup. Mengapa? Karena dengan demikian orang hanya dididik untuk takut menjadi koruptor. Ia takut melakukan korupsi hanya karena takut akan hukuman mati, padahal yang seharusnya muncul adalah kesadaran untuk menghindarinya karena korupsi itu tindakan yang buruk (bukan hanya soal takut)! Pendidikan hati nurani (misalnya dilakukan dengan: mengikuti anjuran agama dan berlaku saleh) itu juga baik, tetapi juga belum cukup! Mengapa? Karena dalam hidup bersama tetap diperlukan hukum yang tegas bagi tercapainya kebaikan bersama.
            Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya sadar bahwa korupsi adalah masalah bersama yang membawa negara ini kepada keburukan dan keterpurukan. Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula: pendidikan hati nurani demi tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati nurani dalam hal ini tidak bisa disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali kepada agama saja (karena semua orang Indonesia ternyata beragama, dan pada saat itu juga menjadi negara terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya adalah persoalan pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan diri kepada pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka dengan tegas harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia yang bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas!


METODE PENELITIAN

Metode Yang Digunakan

Penulis menggunakan metode sekunder,
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Dan dengan menggunakan alat analisis kualitatif yaitu suatu metode analisis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan serta informasi dari objek yang diamati.
  

PEMBAHASAN

Definisi Korupsi

Definisi Korupsi adalah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok).perilaku pejabat publik (pejabat pemerintahan), yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Perbuatan korupsi memang berbeda dengan pencurian biasa/maling, perbuatan ini yang notabene dilakukan oleh oknum pejabat publik cenderung memiliki dampak yang luas ,yang menyangkut suatu sistem pemerintahan dimana dia berada, dan bahkan bisa membuat kehancuran suatu negara, ini yang membedakan dengan prilaku kriminal biasa di level masyarakat umum yang efeknya sebatas lingkup per-individu dan tidak mempengaruhi sistem pemerintahan. Memprihatinkan bahwa Indonesia menempati ranking 3 besar dunia untuk kasus korupsi ini.
Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
Penelitian-penelitian empiris mengenai korupsi mengonfirmasi anggapan tersebut.Pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek yaitu:
1.      Kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak.Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang. Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulang-ulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan.
2.      Pengaruh dari iklim koruptif di tingkat kelompok atau departemen.
3.      Karena faktor kepribadian.

Siapa yang harus disalahkan akibat terjadinya korupsi

Dari uraian di atas maka faktor utama yang harus disalahkan adalah diri sendiri, karena jika diri kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka kita akan mampu untuk menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun pihak yang harus mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus serius dalam mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan hukuman yang diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor jera, kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu moral sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik dimasyarakat. Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan mahasiswanya ke arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan buruk. 


PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang harus disalahkan adalah diri sendiri, karena jika diri kita dibentengi oleh iman dan moral yang kuat maka kita akan mampu untuk menahan gangguan dan ratuan untuk berbuat korupsi, adapun pihak yang harus mendukung dan mengaeari adalah, petama, peran pemerintah harus serius dalam mengadili kasus korupsi karena menurut servey yang ada, jatuhan hukuman yang diberikan kepada koruptor masih sayang rendah dan tidak membuat koruptor jera, kedua, peran orang tua untuk selalu mengawai dan memberikan ilmu-ilmu moral sejak dini agar dikemudian hari anak tersebut dapat berlaku baik dimasyarakat. Ketiga peran guru dan dosen pengajar agar membimbing murid dan mahasiswanya ke arah yang lebih baik lagi untuk selalu dapat memilih mana yang baik dan buruk.     


Saran

Penulis memberikan saran agar pemerintah, orang tua guru dan dosen pengajar dapat besinergi untuk selalu mengawai dan memberikan nilai-nilai positif dalam berkehidupan bermasyarakan untuk tidak melakukan aksi korupsi karena itu termasuk perbuatan yang melanggar hukum, dan untum pemerintah agarlebih serius dalam menghukum para koruptor karena hukuman yang ada di Indonesia masih sangat ringan dan tidak menbuat para koruptor jera.


DAFTAR PUSTAKA