beranda

Senin, 07 Mei 2012

teori inflasi


Pengertian Inflasi

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Ada banyak cara untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan adalah CPI dan GDP Deflator.

Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10%—30% setahun; berat antara 30%—100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.

Penyebab Terjadinya Inflasi
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas/uang/alat tukar) dan yang kedua adalah desakan(tekanan) produksi dan/atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan/atau juga termasuk kurangnya distribusi). Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter (Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah (Government) seperti fiskal (perpajakan/pungutan/insentif/disinsentif), kebijakan pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.


Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas dipasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.


Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan produksi dan/atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tsb, aksi spekulasi (penimbunan), dll, sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting
.

Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal,yaitu
Kenaikan harga, misalnya bahan baku dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.






Penggolongan Inflasi
Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu inflasi yang berasal dari dalam negeri dan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi berasal dari dalam negeri misalnya terjadi akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal. Sementara itu, inflasi dari luar negeri adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga. Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Berdasarkan keparahannya inflasi juga dapat dibedakan :
1.      Inflasi ringan (kurang dari 10% / tahun)
2.      Inflasi sedang (antara 10% sampai 30% / tahun)
3.      Inflasi berat (antara 30% sampai 100% / tahun)
4.      Hiperinflasi (lebih dari 100% / tahun)
Mengukur Inflasi
Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah indeks harga.Indeks harga tersebut di antaranya:
·         Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh konsumen.
·         Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
·         Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan karena perubahan harga bahan baku meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
·         Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari komoditas-komoditas tertentu.
·         Indeks harga barang-barang modal
·         Deflator PDB menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa.

Dampak Terjadinya Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung, dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman.

Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Peran bank sentral terhadap Inflasi
Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak di luar bank sentral -termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen -- salah satunya disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong perekonomian -- akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.
Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.



Deflasi
Dalam ekonomi deflasi adalah suatu periode dimana harga-harga secara umum jatuh dan nilai uang bertambah. Deflasi adalah kebalikan dari inflasi. Bila inflasi terjadi akibat banyaknya jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka deflasi terjadi karena kurangnya jumlah uang yang beredar. Salah satu cara menanggulangi deflasi adalah dengan menurunkan tingkat suku bunga.

konsumsi dan investasi


KONSUMSI DAN INVESTASI

Fungsi konsumsi dan investasi menurut keynes
Seorang ahli ilmu ekonomi JM. Keynes, mengatakan bahwa Pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh pendapatannya.
Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan tingkat tabungannya pun akan semakin bertambah. dan sebaliknya apabila tingkat pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatannya digunakan untuk konsumsi sehingga tingkat tabungannya nol.

Menerut JM. Keynes, pendatan suatu negara terdiri atas dua hal, yaitu : (1). Pendapatan Perseorangan ( Y=C+S) dan (2). Pendapatan Perusahaan (Y=C+I).
Karena pembahasan kita kali ini berkaitan dengan fungsi konsumsi dan tabungan, maka pokok bahasan kita kali berkaitan dengan pendapatan perseorangan (Y=C+S) dan kaitannya dengan fungsi konsumsi dan tabungan.
Apabila pendapatan berubah, maka perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi dan tabungan
Perbandingan antara pertambahan konsumsi (∆C) yang dilakukan dengan pertambahan pendapatan disposible (∆Yd) yang diperoleh disebut kecondongan mengkonsumsi marjinal (MPC = Marginal Propensity to Consume). Perbandingan antara pertambahan tabungan (∆S) dengan pertambahan pendapatan disposibel (∆Yd) yang diperoleh disebut kecondongan menabung marjinal (MPS = Marginal Propensity to Save).
untuk mengetahui perubahan tingkat konsumsi, maka dapat digunakan rumus :
===> MPC = ∆C / ∆Y dan APC = C / Y
dan untuk mengetahui perubahan tingkat konsumsi, maka dapat digunakan rumus :
===> MPC = ∆S / ∆Y dan APC = S / Y
Fungsi konsumsi adalah suatu fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan pendapatan nasional dalam perekonomian. Sedangkan fungsi tabungan adalah suatu fungsi yang menggambarkan hubungan antara tingkat tabungan rumah tangga dan pendapatan nasional dalam perekonomian.
Persamaan antara hubungan itu adalah :
Fungsi Konsumsi  :  C = a + bY
Fungsi Tabungan   : S = -a + (1-b)Y
dimana :
a = konsumsi rumah tangga secara nasional pada saat pendapatan nasional = 0
b = kecondongan konsumsi marginal (MPC)
C = tingkat konsumsi
S = tingkat tabungan
Y = tingkat pendapatan nasional.
untuk lebih jelasnya tentang fungsi konsumsi dan tabungan, mari kita bahas soal-soal Olimpiade Sains Ekonomi yang ada kaitannya dengan fungsi konsumsi dan tabungan :
Soal pertama :  (Soal Olimpiade Sains Kabupaten (OSK) Ekonomi 2009).
  • Sebelum bekerja pengeluaran Daniel sebesar Rp. 1.500.000,00 sebulan. setelah bekerja dengan penghasilan sebesar Rp. 5.000.000,00 pengeluarannya sebesar Rp. 4.500.000,00. Fungsi konsumsi Daniel adalah….
Pembahasan :
dik :
-  a = 1.500.000 (Konsumsi pada saat y=0)
-  ∆C = C1 – C0 = 4.500.000 – 1.500.000 = 3.000.000
-  Y   = Y1 – Y0 = 5.000.000
- ∆Y = 5.000.000 – 0 = 5.000.000
dit : Fungsi Konsumsi ?
jawab :
Fungsi konsumsi dinyatakan dengan :
C = a + bY atau C  a + mpcY
pada soal diatas sudah diketahui nilai a, Y, ∆Y, dan ∆C, jadi langkah selanjutnya kita mencari MPC
MPC = ∆C / ∆Y
MPC = 3.000.000 / 5.000.000 = 3/6
MPC = 0,6
setelah MPC kita ketahui, maka fungsi konsumsi untuk Daniel dapat kita tentukan sebagai berikut :
C = a + mpcY,
================
C = 1.500.000 + 0,6Y
=================



Konsumsi adalah
•    Kegiatan menghabiskan daya guna (utility) barang dan jasa.
•    Pengeluaran konsumsi personal (personal consumption expenditure) adalah pengeluaran rumah tangga untuk membeli barang baik barang-barang tahan lama (durable goods) maupun barang-barang tidak tahan lama (nondurable/ perishable goods), dan jasa.

Determinan Konsumsi
Pendapatan yang siap dibelanjakan (current disposable income)
Menurut hipotesa ini, Konsumsi ditentukan oleh current disposable
income.
Pendapatan permanen (permanent income), yaitu pendapatan setelah menghilangkan pengaruh sementara dari kenaikan atau penurunan pendapatan (windfall gains or losses)
Menurut hipotesa ini, adanya kenaikan pendapatan yang permanen (seperti promosi jabatan, kenaikan gaji, dsb), maka porsi konsumsi akan meningkat seiring dengan kenaikan pendapatan.
Namun, jika kenaikan pendapatannya hanya sementara (misal, THR, bonus penjualan, dsb), maka kenaikan pendapatan tersebut akan ditabung dan pola konsumsi tidak berubah

Fungsi Konsumsi
a.   Suatu fungsi konsumsi menggambarkan hubungan antara konsumsi dan pendapatan
b.   Kemiringan fungsi/ kurva konsumsi disebut hasrat mengkonsumsi marginal (Marginal Propensity to Consume = MPC), mengukur besarnya tambahan pendapatan yang digunakan untuk menambah konsumsi.
•     MPC = DC/DY
•     MPC selalu positip, tetapi nilainya kurang dari satu (0 < MPC < 1)
c.    Fungsi konsumsi linear mempunyai kemiringan sama (MPC konstan), sedangkan fungsi konsumsi nonlinear mempunyai kemiringan yang berubah (MPC tidak konstan/ berubah)
d.   Intersep fungsi konsumsi disebut konsumsi otonom (autonomous consumption), mengukur:
a.   besarnya pengeluaran konsumsi pada saat pendapatan nol.
b.   pengeluaran konsumsi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan
Hasrat mengkonsumsi rata-rata (Average Propensity to Consume = APC) merupakan rasio antara pengeluaran konsumsi terhadap pendapatan atau disebut juga sebagai tingkat konsumsi
•         APC = C/Y
•         APC selalu positif
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi

1. Tingkat pendapatan masyarakat yaitu tingkat pendapatan (income=I) dapat digunakan untuk dua tujuan: konsumsi (consuption=C) dan tabungan (saving=S), dan hubungan ketiganya dapat terbentuk dalam persamaan I=C+S, adalah merupakan besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan mempengaruhi pola konsumsi.
Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula.
2. Selera konsumen, setiap orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan mempengaruhi pola konsumsi. Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang lainnya.
3. Harga barang, jika harga suatu barang mengalami kenaikan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga suatu barang mengalami penurunan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan. Kaitan konsumsi dengan harga barang dapat dibedakan apakah barang tersebut bersifat substitusi (barang substitusi adalah barang yang dapat menggantikan fungsi barang lainnya) atau komplementer (barang komplementer adalah barang yang melengkapi fungsi barang lainnya).
4. Tingkat pendidikan masyarakat, tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya. 5. Jumlah keluarga, besar kecilnya jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya. 6. Lingkungan, keadaan sekeliling dan kebiasaan lingkungan sangat berpengaruh pada prilaku konsumsi masyarakat. Contohnya, Indonesia yang memiliki daerah tropis tidak begitu membutuhkan baju hangat dibandingkan dengan daerah di kutub utara dan kutub selatan.

FUNGSI KONSUMSI DENGAN   Hipotesis siklus kehidupan
Konsumsi dipengaruhi oleh dua faktor :
      1 . Pendapatan yang akan diterima sepanjang hidupnya
      2 . Lamanya seseorang itu akan terus hidup apabila tidak bekerja lagi.
      Asumsi-Asumsi yang digunakan:
      Pendapatan tahunan seseorang untuk sepanjang masa kerjanya dianggap tetap
      Suku Bunga adalah Nol
      Tidak menerima warisan sepanjang hidupnya
         Analisa Tingkat konsumsi
       Tidak ada warisan
       Menerima warisan

         Hipotesis siklus kehidupan telah memberikan sumbangan penting dalam memakai tingkah laku konsumsi masyarakat, bahwa konsumsi selain dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat masa kini, juga ditentukan oleh pendapatan yang diramalkan akan diterima dimasa yang akan datang
                   G  =  1/T {Yt + (N-1) Ye + W} Teori Konsumsi

berdasar hipotesis siklus hidup (life cycle hypothesis)


FUNGSI KONSUMSI DENGAN  Hipotesis pendapatan permanen
Konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan jangka panjang
Pendapatan permanen adalah pendapatan jangka panjang rata-rata yang diharapkan akan diterima dari “ Human and Non Human Wealth”
Human Wealth : adalah pendapatan yang diterima dari keahlian/keterampilan manusia nya berupa gaji, upah dll.
Non Human Wealth : pendapatan yang diterima dari harta kewenangan dan harta tetap seperti : deviden dari saham, coupon rate dari obligasi
         Menurut Hipotesis Pendapatan Permanen, Tingkat konsumsi ditentukan oleh pendapatan permanen masyarakat pada waktu tersebut dan mempunyai hubungan yang proporsional.
                   C  = k Yp
                   k  = Kecondongan konsumsi marginal dari                 pendapatan permanen
                   Yp = Pendapatan pemanen masa kini
       Menurut Friedmen, ada dua faktor yang menentukan pendapatan permanen :
         Persentasi dari pendapatan diantara pendapatan masa kini dengan pendapatan permanen pada tahun sebelumnya
         Pendapatan permanen pada tahun sebelumnya
                   Yt  = Yt-1  + J (Yt – Yt-1) Teori Konsumsi dengan hipotesis pendapatan permanen (permanent income hypothesis)
M Friedman (1957) menjelaskan perilaku konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan permanen. Dalam hipotesisnya, pendapatan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan orang untuk terus bertahan dimasa depan. Pendapatan sementara (pendapatan transitoris) adalah bagian pendapatan yang tidak diharapkan terus bertahan. Nilai pendapatan ini kadang positif dan kadang negatif.
Ukuran pendapatan sendiri merupakan penjumlahan dan pendapatan permanen dan pendapatan sementara atau secara matematis ditulis:
            Y = Yp + Yt                
Dimana Y adalah pendapatan yang terukur, Yp adalah pendapatan permanen, dan Yt adalah pendapatan sementara.
Untuk itu, Friedman beralasan bahwa konsumsi seharusnya tergantung pada pendapatan permanen karena konsumen menggunakan tabungan dan pinjaman untuk melancarkan konsumsi dalam menanggapi perubahan pendapatan sementara. Jadi fungsi konsumsi menurut Friedman adalah sebagai berikut:
C=αYP
Dimana α adalah konstanta yang mengukur bagian pendapatan permanen yang dikonsumsi.


FUNGSI KONSUMSI DENGAN HIPOTESIS PENDAPATAN RELATIF
           Teori Konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif (relative income hypothesis)

James Duesenberry mengemukakan tentang teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif dengan menggunakan dua asumsi, yaitu :
1.      Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang sekitarnya (tetangganya).
2.      Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya, pola pengeluaran seseorang pada saat penghasilan naik berbeda dengan pola pengeluaran pada saat penghasilan mengalami penurunan.
Kedua asumsi tersebut menjadi dasar Duesenberry dalam merumuskan teori konsumsi dalam jangka panjang dan jangka pendek. Fungsi jangka panjang Deusenberry menggunakan asumsi pertama, dimana konsumsi seseorang sangat dipengaruhi pola konsumsi masyarakat sekitar. Akibatnya dalam jangka panjang, kenaikan penghasilan masyarakat secara keseluruhan tidak akan mengubah distribusi penghasilan seluruh masyarakat.
Deusenberry menggunakan asumsi kedua dalam menurunkan fungsi konsumsi jangka pendek. Menurutnya, besarnya konsumsi seseorang dipengaruhi oleh besarnya penghasilan tertinggi yang pernah diperoleh. Proporsi kenaikan pengeluaran konsumsi pada saat penghasilan naik lebih besar nilainya dibandingkan proporsi penurunan pengeluaran konsumsi pada saat penghasilan turun.

INVESTASI
Berdasarkan teori ekonomi, investasi berarti pembelian (dan produksi) dari modal barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Contohnya membangun rel kereta api atau pabrik. Investasi adalah suatu komponen dari PDB dengan rumus PDB = C + I + G + (X-M). Fungsi investasi pada aspek tersebut dibagi pada investasi non-residential (seperti pabrik dan mesin) dan investasi residential (rumah baru). Investasi adalah suatu fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I= (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga.

pajak pertambahan nilai


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri.
 Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. 
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).






Rumusan Masalah

Seperti yang telah diuraikan di latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Pengertian BKP dan JKP
2.      Mekanisme pemungutan ppn
3.      Objek. Tarif dan perhitungan ppn
4.      Saat terutang ppn dan dasar pengkenaan pajak
5.      Cara menghitung pajak

Tujuan Penulisan

Tujuan Penulis membuat makalah yang berjudul “PPN” adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui tingkat kepatuhan wajib pajak terhadap Undang-undang perpajakan.
2.      Menambah keahlian di bidang perpajakan khususnya yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3.      Dan sebagai salah satu penilaian tugas mata kuliah perpajakan


Metode Pengumpulan Data

Dalam penyusunan makalah ini, perlu sekali pengumpulan data serta sejumlah informasi aktual yang sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas. Sehubungan dengan masalah tersebuat dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan beberapa metode pengumpulan data, yang pertama browsing di internet, kedua melalui sumber buku bacaan dan dengan pengetahuan yang penulis miliki.


BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian BKP dan JKP
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Barang Kena Pajak ( Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
-
Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 itu sendiri.
-
Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).
-
Yang diatur secara rinci oleh Undang-Undang PPN adalah barang-barang yang tidak dikenakan PPN (negatif list), yaitu di Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
-
Dengan demikian, secara otomatis barang-barang lainnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP).
1.                  Jenis-Jenis Barang Tidak Kena Pajak (Pasal 4A Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Pasal 1 s.d. Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 144 TAHUN 2000 ) :
a.
Barang hasil pertambangan, penggalian, dan pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya ( minyak mentah, gas bumi, pasir dan kerikil, bijih besi, bijih timah, bijih emas, dsb).
b.
Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak (beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam baik beriodium maupun tidak beriodium).
c.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya (baik dikonsumsi di tempat maupun dibawa pulang, tidak termasuk katering).
d.
Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.
2.                  Penyerahan BKP ( Pasal 1A angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 ) :
a.
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian (antara lain jual beli, tukar menukar, jual beli dengan angsuran).
b.
Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu Perjanjian Sewa Beli dan Perjanjian Leasing (Capital Lease atau Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi).Yang terutang PPN adalah penyerahan barangnya, sedangkan penyerahan jasanya (jasa pembiayaan) tidak terutang PPN.
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara dan Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang.
d.
Pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
e.
Persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan. (Khusus atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN Masukan yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan).
f.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang (perwakilan/kantor pemasaran) atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Kantor Cabang (dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda)
g.
Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
3.                  Bukan Penyerahan BKP/Tidak dikenakan PPN (Pasal 1A angka 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) :
a.
Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Namun demikian, jasa makelar merupakan Jasa Kena Pajak.
b.
Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang.
c.
Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kantor Pusat ke Kantor Cabang atau sebaliknya dan antar Kantor Cabang, dalam hal berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama atau berada dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berbeda tetapi telah memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak. (lihat Sentralisasi Tempat Pajak Terutang)

Tatacara Penyetoran
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang wajib dipungut dan disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya  pajak.
Ketentuan pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) :

1.    pada kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean yang menyerahkan BKPTW/JKP ke dalam Daerah Pabean,
2.    pada kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP, dan
3.    pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTW/JKP.

Tatacara Pelaporan
Bagi Pengusaha Kena Pajak, PPN atas pemanfaatan BKPTW atau JKP yang telah disetor dilaporkan dalam SPT Masa PPN bulan terutangnya pajak. SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP yang telah disetor dengan mempergunakan lembar ketiga SSP ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

Sanksi
Orang pribadi atau badan yang melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai setelah melewati batas waktu di atas dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Mulai Berlaku
Sejak 1 April 2010, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 ini mulai berlaku dan menggantikan atau mencabut ketentuan sebelumnya yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/KMK.03/2000 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

karakteristik
§  Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
§  Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
§  Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
§  Menghindari pengenaan pajak berganda.
§  Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.






Barang tidak kena PPN

§  Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1.     Minyak mentah.
2.     Gas bumi.
3.     Panas bumi.
4.     Pasir dan kerikil.
5.     Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
6.     Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
§  Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
§  Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
1.      Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
2.      Gilingan.
3.      Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
4.      Beras pecah.
5.      Menir (groats) beras.
§  Segala jenis jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
1.      Jagung yang telah dikupas maupun belum.
2.      Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
3.      Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
§  Sagu, dalam bentuk:
1.      Empulur sagu.
2.      Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
§  Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
§  Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
1.      Garam meja.
2.      Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
§  Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.

      Jasa tidak kena PPN

§  Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
1.      Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
2.      Jasa dokter hewan.
3.      Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
4.      Jasa kebidanan dan dukun bayi.
5.      Jasa paramedis dan perawat.
§  Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
1.      Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
2.      Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
3.      Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
4.      Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
5.      Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
6.      Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
7.      Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
§  Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero).
§  Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:
1.      Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
2.      Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
3.      Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
§  Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
1.      Jasa pelayanan rumah ibadah.
2.      Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
3.      Jasa lainnya di bidang keagamaan.
§  Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
1.      Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
2.      Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
§  Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
§  Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
§  Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
§  Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
1.      Jasa tenaga kerja.
2.      Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
3.      Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
§  Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
1.      Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
2.      Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
§  Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

UU PPN 1984 tidak pernah menentukan bahwa eksportir BKP adalah PKP
Apabila dicermati ternyata sejak mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985, UU PPN 1984 tidak pernah memberi status PKP kepada eksportir BKP. Tentang hal ini tersurat dan tersirat dalam:
a. Pasal 1 angka 15 (sebelumnya adalah Pasal 1 huruf l), yang merumuskan status PKP itu hanya dimiliki oleh pengusaha yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, maka pengusaha yang tidak menyerahkan BKP atau JKP tetapi melakukan ekspor BKP atau ekspor JKP tidak memiliki status sebagai PKP.
Apabila ada eksportir yang dikukuhkan sebagai PKP, kriteria yang menjadi tolok ukur bukan kegiatan ekspor tersebut melainkan kegiatan lain yang dilakukan oleh eksportir ini misalnya melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.

Contoh: PT Arta Belanga mengelola sebuah pabrik biskuit. Produk perusahaan ini sebagian besar untuk dipasarkan di dalam negeri, dan sisanya diekspor. PT Arta Belanga diwajibkan untuk melaporkan usahanya guna dikukuhkan sebagai PKP, karena kegiatan usaha atau pekerjaannya adalah menyerahkan produk berupa biskuit yang merupakan BKP, bukan karena mengekspor BKP. Ketika mengekspor BKP, PT Arta Belanga sudah dikukuhkan sebagai PKP, maka atas ekspor ini dikenai PPN.

a.         Dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983 yang menentukan bahwa bagi pengusaha yang melakukan ekspor BKP juga melakukan penyerahan BKP kepada PKP dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Secara a contrario, apabila ada pengusaha mengekspor BKP tetapi tidak pernah melakukan penyerahan BKP atau JKP di dalam Daerah Pabean, maka pengusaha ini bukan PKP meskipun boleh memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP. Mengapa begitu ?
Sebelum 1 Januari 1995, pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP dikenal dengan sebutan PMPKP. PMPKP ini bukan PKP dalam arti yang sebenarnya, karena tidak memiliki karakteristik PPN yang mewajibkan PKP memungut PPN atas penyerahan BKP atau JKP kepada siapapun. Sedangkan PMPKP hanya mengenakan PPN apabila menyerahkan BKP kepada PKP lain. Dalam hal pengusaha yang ter-golong PMPKP menyerahkan BKP kepada non PKP, tidak boleh memungut PPN.

Contoh: PT Eksporta melakukan ekspor BKP yang diperoleh dari para pemasok (supplier). Perusahaan ini tidak pernah menjual BKP tersebut kepada pembeli di dalam negeri. PT Eksporta bukan PKP. Beberapa bulan berikutnya, disebabkan BKP yang diterima dari para pemasok melebihi kuantum BKP untuk diekspor, maka sebagian dijual di dalam Daerah Pabean. Dalam kondisi yang seperti ini PT Eksporta diperbolehkan memilih untuk dikukuhkan menjadi PKP supaya dapat memungut PPN ketika menyerahkan BKP kepada PKP.

c. Memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f berbunyi sebagai berikut: “Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c, maka Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1).”
Formula memori penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f ini tidak mencapai sasaran. (Lagi-lagi penulis menimbang-nimbang unsur etika. Sungguh tidak etis apabila penulis menyebutkan “menyesatkan”, lebih etis kiranya menggunakan kalimat “tidak mencapai sasaran”). Dari formula memori penjelasan tersebut menimbulkan kesan bahwa yang boleh melakukan ekspor BKP hanya Pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi PKP. Sebaliknya apabila suatu pengusaha belum dikukuhkan sebagai PKP, maka pengusaha ini dilarang mengekspor BKP. Padahal, UU PPN tidak memiliki kompetensi melarang Pengusaha yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP.

Menurut hemat penulis, formula Pasal 4 ayat (1) huruf f yang menentukan bahwa PPN dikenakan atas ekspor BKP yang dilakukan oleh PKP, mengandung makna bah-wa dalam hal kegiatan ekspor BKP dilakukan oleh eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP, maka tidak dikenai PPN.
Makna ini tersirat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f diawali dengan kalimat: “Berbeda dengan Pengusaha yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan atau huruf c …..”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 4 ayat (1) huruf c mengisyaratkan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau penyerahan JKP baik oleh Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai PKP maupun yang seharusnya sudah dikukuhkan namun ternyata belum dikukuhkan sebagai PKP. Karena ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f dirumuskan secara berbeda dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf c, maka ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf f membawa konsekuensi, apabila eksportir yang belum dikukuhkan menjadi PKP melakukan ekspor BKP, maka atas ekspor ini tidak dikenai PPN. Sebagai konsekuensinya, pengusaha ini tidak dapat mengkreditkan seluruh Pajak Masukannya sehingga tidak memperoleh kenikmatan berupa hak untuk mengajukan permintaan pengembalian kelebihan Pajak Masukannya. Analisis ini berlaku juga bagi pengusaha yang melakukan ekspor sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) huruf g, dan huruf h.


Kewajiban di bidang PPN bagi pengusaha yang semata-mata melakukan ekspor BKP atau ekspor JKP.

Apabila disimak lebih cermat ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PPN 1984 sebelum 1 Januari 1995 dengan perumusan yang lebih akurat dalam Pasal 1 angka 14 dan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984 sejak 1 Januari 1995 dapat dipahami bahwa Pengusaha yang melakukan kegiatan ekspor BKP dapat dipilah menjadi 3 macam variasi kegiatan usaha, yaitu:
1) Pabrikan selaku eksportir, yaitu pabrikan yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor BKP yang merupakan hasil produksinya.
2) Pedagang Besar selaku eksportir, yaitu pedagang besar yang selain menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean, juga melakukan ekspor barang dagangannya yang merupakan BKP.
3) Pengusaha yang kegiatannya semata-mata melakukan ekspor BKP.
Bagi pabrikan yang memproduksi BKP, produk ini selain diekspor juga diserahkan di dalam Daerah Pabean, dan Pedagang Besar yang selain mengekspor barang dagangannya yang merupakan BKP juga menyerahkannya di dalam Daerah Pabean, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, kewajiban ini timbul bukan karena melakukan ekspor BKP, melainkan lebih disebabkan dari kegiatannya menyerahkan BKP di dalam Daerah Pabean. Karena sudah dikukuhkan sebagai PKP maka berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN 1984 atas kegiatan ekspor BKP-nya dikenai PPN, sehingga dalam surat pengukuhan PKP-nya, jenis usahanya meliputi “eksportir dan industri BKP”, atau “eksportir dan Pedagang Besar BKP”.
Sedangkan bagi Pengusaha yang kegiatan usahanya semata-mata mengekspor BKP, sehingga sama sekali tidak melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean, berdasarkan Pasal 1 angka 15 UU PPN 1984, tidak berstatus sebagai PKP maka seharusnya tidak memiliki kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP. Meskipun demikian, bagi pengusaha ini diberi hak untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP sebagaimana sudah pernah diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 1983.
Karena Pasal 1 angka 15 tidak menentukan bahwa pengusaha yang melakukan ekspor BKP Berwujud atau Tidak Berwujud atau JKP adalah PKP, sehingga secara logika yuridis Pengusaha ini tidak dapat dibebani kewajiban untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, maka pencantuman “Pasal 4 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf h” dalam Pasal 3A ayat (1) UU PPN 1984 seharusnya gugur demi hukum.

MEKANISME PEMUNGUTAN PPN
Bagaimanakah mekanisme pemungutan PPN?

1.    Secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual. Dengan demikian, pembeli BKP/JKP yang bersangkutan wajib membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN yang terutang (10%).
2.    Dalam hal harga jual atau penggantian telah termasuk PPN, maka PPN yang terutang atas penyerahan BKP/JKP tersebut dihitung dengan formula : 10/110 x harga jual atau penggantian.
3.    Apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Pemungut PPN (Pembeli Khusus), PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Pemungut PPN tersebut. Dengan demikian, Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas negara.
4.    Pemungut PPN (Pembeli Khusus) terdiri dari (563/KMK.03/2003) :
·       Bendaharawan Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, yang dananya dari APBN/APBD.
·       Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara
5.    Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP antar Pemungut PPN, PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pemungut PPN yang melakukan penyerahan BKP/JKP (Penjual),
6.    Dalam hal terjadi penyerahan BKP/JKP oleh Badan-Badan tertentu kepada Bendaharawan Pemerintah/KPKN, maka PPN/PPnBM terutang atas BKP/JKP dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Pemerintah/KPKN (Pembeli),.
7.    Penyerahan BKP/JKP oleh Instansi Pemerintah yang bertindak sebagai PKP kepada Badan-Badan tertentu, PPN terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Bendaharawan Instansi Pemerintah (Penjual)


Mekanisme Pemungutan PPN Oleh Pemungut PPN
(563/KMK.03/2003, KEP-382/PJ/2002)        
Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan/atau PPnBM PemungutanPPN/PPn BM dilakukan pada saat dilakukannya pembayaran atas BKP/JKP oleh pemungut PPN, dengan cara memotong langsung dari tagihan PKP Rekanan. 
        
Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan (faktur/invoice), PKP Rekanan wajib membuat :
1.       Faktur Pajak atas PPN dan PPnBM yang terutang
2.       SSP (dengan identitas dan NPWP PKP Rekanan) yang ditandatangani oleh Pemungut.
        
Faktur Pajak dibuat rangkap 3 : 
1.       Lembar 1 : untuk Pemungut PPN
2.       Lembar 2 : untuk arsip PKP Rekanan
3.       Lembar 3 : untuk KPP melalui Pemungut PPN 

Pada setiap lembar Faktur Pajak wajib dibubuhi cap "DISETOR TANGGAL :..........." dan ditandatangani oleh Pemungut PPN yang bersangkutan. 
      
Khusus untuk KPKN, setiap lembar Faktur Pajak Standar wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM
       
Untuk Bendaharawan Pemerintah, SSP dibuat rangkap 5 : 
1.       Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
2.       Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3.       Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan
4.       Lembar 4 : untuk Bank/Kantor Pos
5.       Lembar 5 : untuk Pemungut PPN
        
Untuk KPKN, SSP dibuat rangkap 4 : 
1.       Lembar 1 : untuk arsip PKP Rekanan
2.       Lembar 2 : untuk KPP melalui KPKN
3.       Lembar 3 : untuk dilampirkan pada SPT Masa PPN PKP Rekanan.
4.       Lembar 4 : untuk Pemungut PPN (KPKN)


        
Pada setiap lembar SSP, wajib dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM         
SSP lembar ke-1 dan ke-2 dibubuhkan cap "TELAH DIBUKUKAN" 


OBJEK TARIF dan PERHITUNGAN PPN
Objek PPN
1.      Penyerahan BKP/JKP didalam daerah pabeaan yang dilakukan oleh pengusaha
2.      Import BKP
3.      Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
4.      Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean didalam daerah pabean
5.      Eksport BKP oleh PKP

Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah
Pengusaha Kena Pajak
1.     Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.
2.    Bentuk Kerja sama Operasi.
Bukan Pengusaha Kena Pajak
1.     Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
2.     Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean.
3.     Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.
4.    Jasa di bidang perhotelan.

Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.
Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.

Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran

Cara Penghitungan
PPN yang terutang atas pemanfaatan BKPTW dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut:
·                     10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan tidak termasuk PPN; atau
·                     10/110 dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan sudah termasuk PPN.
Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk PPN, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10% dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean.















SAAT TERUTANG PPN dan DASAR PENGENAAN PAJAK
Saat dan Tempat Pajak Terutang

Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.
Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.
Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.

Saat Terutang
Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tersebut.
Saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
1.        saat BKPTW/JKP tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
2.        saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
3.        saat harga jual BKPTW dan/atau penggantian JKP tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
4.        saat harga perolehan BKPTW/JKP tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean tidak diketahui, saat dimulainya pemanfaatan BKPTW/JKP dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.
Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut:
1.     untuk PPN Barang adalah harga jual;
2.     untuk PPN Jasa adalah penggantian;
3.     untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;
4.     untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP;
5.     untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
6.    untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.
Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.
Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:
1.     untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor;
2.     untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
3.     untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual adalah harga pasar wajar;
4.    untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.










CARA MENGHITUNG PAJAK

Perhitungan PPN dan PPn BM
Rumus : PPN=10/110 + t x harga penyerahan BKP
               PPn BM = t/110 + t x harga penyerahan BKP
               t = besar tariff PPn BM
contoh:
1.      Dalam kontrak harga belum termasuk PPN
PKP A, bulan januari 2009, menjual tunai kepada PKP B sebanyak 100 pasang sepatu merk Nike, dengan harga @ Rp 100.000, belum termasuk PPN, oleh PKP B, pada bulan januari 2009, sepatu tersebut dijual sebanyak 80 pasang kepada pihak lain dengan harga @ Rp 120.000 sedangkan sebanyak 5 pasang dipakai sendiri. Hitung PPN terutang PKP B?
Jawab :
PAJAK MASUKAN
DPP = 100 x @ Rp 100.000 = 10.000.000
PPN=  10% x 10.000.000     = 1.000.000
Jumlah                                  = 11.000.000
PAJAK KELUARAN
DPP = 80 x 120.000 =                                                                         Rp 9.600.000
PPN atas penjualan 80 pasang
(10% x 9.600.000)                                                                               Rp 960.000
PPN atas pemakai sendiri
DPP = 5 x @ 100.000
(10% x 500.000)                                                                                  Rp 50.000
Jumlahnya                                                                                           Rp. 1.010.000
Pajak masukan                    = 1.000.000
Pajak keluaran                    = 1.010.000
Jumlah kurang bayar         = 10.000






BAB III

KESIMPULAN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.