Manajemen konflik
Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok,
konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai
gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang
konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun
positif tergantung bagaimana cara mengelolanya
Definisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang
berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau
keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik
merupakan kondisi terjadinya
ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada
dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang
telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi
atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993,
p.4)
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn,
Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup
organisasi) adalah: Conflict
is a situation which two or more people disagree
over issues of organisational substance and/or experience some emotional
antagonism with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap
suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan
timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang
langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
(Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan
(Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik
adalah :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara
perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling
bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak
secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan
ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang seringkali ditandai oleh
gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi,
dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status,
jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-
pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil,
rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman,
kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling
berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha
masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat,
golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
:
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan
sebagai hal yang biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu
dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara
tersembunyi yang belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara
keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran
dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts)
dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Muncul
sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku
(manifest behavior) Upaya untuk mengantisipasi timbulnya
konflik dan sebab serta akibat yang ditimbulkannya; individu, kelompok atau
organisasi cenderung melakukan berbagai mekanisme pertahanan diri melalui
perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu
diambil terhadap suatu konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai
strategi atau sebaliknya malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan
strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi
semua pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua
belah pihak sehingga mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak
dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis
konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict),
yaitu:
1) Approach-approach conflict, dimana orang
didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih,
tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2) Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong
untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu
tujuandan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap
persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai positif dan
negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3) Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong
untuk menghindari dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang
dicapai saling terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict
merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi,
serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan
ambigius
Di dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena
adanya perbedaan peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap
sikap-sikap, nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas
hasil penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang
dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel pokok
yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat
tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik
yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin (2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari
munculnya konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian
masalah dan orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2. Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima,
namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer.
Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3. Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang
diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer perlu
memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari ketidaksepakatan tanpa
membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing
yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang lain
kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai macam cara untuk
memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan. Ini adalah konflik “penembak misterius”.
Orang-orang yang terlibat di dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian
mundur untuk menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal
sehat. Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah
karena biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun
demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit
diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang. Konflik
hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah konflik yang tidak
bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai
berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik
karyawan dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul
melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia
potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu
bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang
jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik kuantitas
maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal ini terlihat dari
cara pembagian tugas dan tanggung jawab sesuai dengan analisis pekerjaan
masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar
pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, kejujuran,
inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat
stress bahkan produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan
memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi dirinya
secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat mengembangkan kariernya sesuai dengan
potensinya melalui pelayanan pendidikan (education), pelatihan (training) dan
konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua
ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja
meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh
kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk membiarkan
konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik. Akibatnya muncul
keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada
waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil
mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, tidur
selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang terlambat
dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya
yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing
kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi
psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit untuk konsentrasi dalam
pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang aman, merasa tertolak oleh teman
ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, timbul stres yang
berkepanjangan yang bisa berakibat sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun
yang lainnya.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi,
dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi
terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk dan ini disebut
labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan kestabilan
organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan karyawan
potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan latihan
dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak lingkungan kerja
sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena itu konflik harus mendapat
perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat
saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan
contoh yang paling buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang
lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim
karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan. Seringkali
dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun, dapat membuat
pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui
gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak memusatkan perhatian pada
tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi dan pribadi, maka perhatian mereka
akan terus terpusatkan ke sana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian dapat
meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang, manajer akan sulit
sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari
efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 :
131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian
dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat
mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan
yang seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam
mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah padahal
sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji
mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna.
Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat
diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara
yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati,
jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah sebelumnya
dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga memaparkan bahwa ketika mengalami
konflik, ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan di tengah-tengah konflik,
yaitu:
1. Jangan hanyut dalam perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah
dalam masyarakat yang tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah
maka kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat
ditangani secara paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang
dengan berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling
mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual
Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu
diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu
diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah.
Biasanya individu atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah
(berkompromi) atau membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau
menggunakan jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan
pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang
untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak
atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga
yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua
belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah
dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak
seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak
mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan
rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan
adanya salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang
lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan
perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap
perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal
ambiquity).
c. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk
mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik,
karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan
menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh
sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran
persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah
pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap
sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang
berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala
pengetahuan, sikap dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi
yang dapat membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,
merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi
strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan
industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan
sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk
menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah
pihak.
b. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation)
Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan
proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik
dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational
Conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa
dipakai untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara
vertikal dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung
menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara
otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas
dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah
konflik seperti ini biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari
peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan
birokratis (Bureaucratic Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi
konflik vertikal (hirarkie) didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral
(Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata
tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung
melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi
dan model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam
kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan
masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara
fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan
terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan
tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru
dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai
akibat adanya saling ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai
kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.